Oleh : Taufik Abdullah (Tim Pusat Pengembangan Sekolah & Tenaga Pendidik Makmal Pendidikan – Dompet Dhuafa / @pendidikberpena)
Saya tergelitik menulis tentang “Optimalisasi Sistem Kontrol Program Sertifikasi Guru. Bagaimana tidak, karena dalam prosesnya banyak kejanggalan dan pelanggaran. Terlepas dari pelanggaran-pelanggaran itu, sebenarnya sistem yang dibuat pemerintah dalam menentukan guru yang mendapat hak sertifikasi sangat ideal.
Namun ternyata, di lapangan para pemegang hak melanggar aturan yang dibuat pemerintah. Misalnya adanya manipulasi data, tidak liniernya antara kompetensi yang diharapkan dengan kenyataan di lapangan. Sebelum saya lebih jauh menguraikannya, kita perlu samakan persepsi dulu tentang kenapa pemerintah membuat kebijakan adanya Sertifikasi Guru? Kemudian apa yang diharapkan pemerintah kepada guru yang mendapatkan sertifikasi? Pemerintah mengeluarkan kebijakan adanya seritifikasi guru sebagai pembuktian profesionalitas dalam mengajar, hal ini perlu dilakukan.
Kebijakan Adanya Sertifikasi Guru
Seseorang yang akan menjadi akuntan harus mengikuti pendidikan profesi akuntan terlebih dahulu. Begitu pula untuk profesi lainnya, termasuk profesi guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Lalu apakah sertifikasi guru menjamin peningkatan kualitas guru?
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1.
Ijazah S-1 Bukan Tujuan
Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar, melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru.
Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini, maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut,maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.
Harapan Pemerintah Seolah Kosong
Guru menyambut baik kebijakan ini, namun setelah berjalan beberapa tahun, apa yang terjadi? Harapan pemerintah seolah kosong. Guru yang mendapat sertifikasi semakin tidak professional, peningkatan komptensi yang diharapakan semakin menurun. Yang dikejar hanya tunjangan profesi. Jadi disini terjadi ketidaksingkronan antara tunjangan profesi yang di dapatkan dengan kualitas pembelajaran di sekolah.
Melihat tidak berjalannya apa yang menjadi harapan pemerintah, maka program sertifikasi guru perlu dioptimalisasi sistem kontrolnya. Disini saya bukan tidak setuju dengan program ini, akan tetapi perlu di evaluasi kembali. Dan sebenarnya program sertifikasi guru ini adalah bentuk atau sistem reward yang dibuat pemerintah sebagai motivasi perbaikan kompetensi guru dan peningkatan kesejahteraan.
Komptensi Guru Akan Meningkat
Nah bagaimana mungkin komptensi guru akan meningkat kalau tidak pernah di evaluasi kinerjanya. Lalu bagaimana cara agar sertifikasi guru ini bisa berlajan sesuai dengan harapan pemerintah? Jawabannya adalah dengan mengoptimalisasi sistem control Sertifikasi Guru. Bagaimana caranya ?
1. Penilaian Kinerja Guru
Guru yang dikatakan professional tidak lepas dari kinerja yang bagus. Sama halnya dengan profesi-profesi lain seperti dokter, akuntan, pengacara, sehingga proses pembuktian profesionalitas perlu dilakukan. Seseorang yang akan menjadi akuntan harus mengikuti pendidikan profesi akuntan terlebih dahulu, begitu pula profesi guru. Untuk melahirkan guru yang professional di bidangnya, perlu ada evaluasi bertahap dengan cara sebagai berikut :
a. Sistem Kontrol Harus Optimal dengan Pembentukan Tim Penilai Independen
Yang menjadi masalah dalam kebijakan program sertifikasi guru ini adalah ketiadaan dalam pengontrolan dan evaluasi. Kepala sekolah yang ditugaskan sebagai tim dalam menilai guru yang berhak mendapat sertifikasi memanipulasi kebenarannya agar lulus dalam kriteria atau syarat sertifikasi guru. Misalnya guru yang baru mengajar 2 tahun, datanya dimanupulasi menjadi 5-7 tahun mengajar. Tindakan-tindakan ini yang membuat karakter guru rusak. Maka dari itu perlu dibuat tim independen yang bertugas sebagai tim penilain berkas dan menguji apakah guru ini layak mendapatkan sertifikasi atau tidak. Tim independen ini bisa dari kalangan praktisi pendidikan, dosen, atau orang tua.
b. Mengganti Metode Pemberian Sertifikasi dari Portofolio ke Sistem Key Performance Indicators (KPI) dan Penailan Sikap atau Karakter.
Metode pemberian predikat sertifikasi guru dengan protofolio ini saja tidak cukup. Perlu ada tools yang tepat dalam menilai guru. Metodenya bisa diganti dengan menggunakan Key Performance Indicators (KPI) seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam menilai kinerja karyawannya. KPI dapat diartikan sebagai ukuran atau indikator yang akan memberikan informasi sejauh mana kita telah berhasil mewujudkan sasaran strategis yang telah kita tetapkan. Dalam menyusun dengan menggunakan metode penilaian ini, pemerintah bisa menilai kinerja guru, dan diharapkan guru punya loyalitas yang tinggi untuk menjadi guru yang professional.
2. Sistem Kompensasi dan Benefit
Selama ini bentuk penghargaan pemerintah kepada guru-guru yang mendapatkan sertifikasi hanya dengan memberikan tunjangan profesi. Ternyata adanya tunjangan profesi ini tidak menjadikan guru-guru ini semangat dalam mengajar, dan terus memperbaiki cari mengajarnya, namun malah terlena dengan nominal tunjangan yang cukup besar. Maka melihat itu semua, tunjangan profesi ini bisa dibuat dalam bentuk lain seperti studi banding ke negara-negara tetangga yang punya sistem pendidikan baik seperti Jepang, Finlandia dll. Guru bisa diberikan hak untuk melanjutkan pendidikan. Nah kalau ini bisa dilakukan maka jelas komptensi guru akan meningkat.
3. Memperkuat Sistem Punishment dengan Melahirkan Undang-Undang tentang Kinerja Guru yang Melakukan Penyelewengan Profesi atau Kinerja
Ada reward tentu ada punishment. Selama ini guru yang sudah mendapatkan tunjangan profesi, terlena dengan nominal tunjangannya dan tanpa ada peningkatan kompetensi guru. Pemerintah pun tidak pernah melakukan evaluasi kinerja. Maka dari itu, pemerintah perlu melahirkan Undang-Undang tentang Kinerja Guru yang Melakukan Penyelewengan Profesi atau Kinerja sehingga ada pengawasan. Selama ini kita hanya mendengar punishment itu di dunia sepak bola. Coba kita lihat bagaimana ketika seorang pemain bola melakukan pelanggaran yang sangat fatal, apa sanksinya? Bisa jadi pemain tersebut dikeluarkan sebagai atlet sepak bola, atau dikenai denda. Nah punishment ini perlu juga diterapkan pada para guru sehingga bisa melahikran guru yang professional dan sistem pendidikan kita bisa berkualitas.