Oleh : Restgha Noriega (Guru Relawan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa)
Masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang rendah. Menurut data dari UNESCO pada tahun 2012, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1000 penduduk Indonesia hanya 1 orang yang membaca buku (geotimes.co.id). Akan tetapi, dilihat dari kemampuan membaca, bangsa Indonesia patut berbangga. Di awal kemerdekaan, hanya enam persen warga Indonesia yang mampu membaca, kini setelah Indonesia merdeka kemampuan untuk membaca telah mencapai 94%, atau dengan kata lain tinggal 6% dari penduduk Indonesia yang masih belum bisa membaca dan menulis (republika.co.id).
Data Minat Membaca di Indonesia
Dua data tersebut seolah menjadi berbenturan antara yang satu dengan yang lainnya, disatu sisi masyarakat Indonesia telah mampu membaca, akan tetapi kurang minat untuk membaca. Ditelisik lebih jauh minat anak dalam membaca bisa jadi dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya soal ketersediaan bahan bacaan itu sendiri. Bagaimana minat membaca akan tinggi, jika bahan bacaan sendiri belum tersedia.
Menurut badan penelitian dan pengembangan perpustakaan nasional, dari 64.000 desa di Indonesia hanya 22% yang memiliki perpustakaan. Terlepas dari ketersediaan fasilitas dari perpustakaan yang sudah ada, jumlah ini tentu menjadi teramat kurang untuk dapat mendongkrak minat baca masyarakat. Di daerah terpencil, Pulau Padang Tikar, Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat, kemampuan anak dalam hal membaca seolah terbantahkan. Di daerah terpencil yang memiliki keterbatasan atas buku bacaan, mereka justru memiliki semangat membaca yang tinggi.
Minat Baca yang Tinggi
Anak anak SD 18 tanjung harapan misalnya, mereka memiliki minat baca yang tinggi. Ketika disediakan sebuah pojok baca sederhana di sekolah, anak anak antusias mengunjungi setiap waktu jeda belajarnya. Buku menjadi kawan mereka duduk dan bermain di sekolah. Menjadi pemandangan yang wajar ketika anak anak di daerah terpencil itu duduk berkawankan buku. Ini seolah membantah bahwa bangsa kita minim minat baca, paling tidak untuk daerah terpencil ini.
Bisa jadi rendahnya minat baca bukan hanya soal kebiasaan membaca, akan tetapi juga soal ketersediaan buku bacaan itu sendiri. Di daerah terpencil, buku menjadi barang langka untuk ditemukan, sehingga ketika anak-anak menemukan buku mereka memiliki antusiasme yang luar biasa. Barangkali demikian juga di daerah lain belahan negeri ini, buku masih menjadi barang mewah untuk dimiliki. Untuk mendapatkannya masih perlu biaya lebih. Terlebih dengan banyak kekurangan dari sisi ekonomi, tentu alokasi untuk membeli buku menjadi semakin surut, teralihkan untuk kebutuhan pokok lain. Terlepas dari faktor ketersediaan dan juga harga yang kurang terjangkau sehingga membuat minat baca menjadi rendah. Kita harus tetap optimis bahwa bermodal kemampuan baca yang terbina hingga pelosok, bangsa ini akan memiliki minat membaca yang kian baik. Seiring kian merata dan terjangkaunya bahan bacaan tentunya.