Oleh : In Amullah, S.Si (Team Leader Sekolah Guru Indonesia – Halmahera Utara / kang.amroelz@gmail.com)

Sekolah adalah tempat belajar mengajar, bukan tempat melakukan anak seperti layaknya pekerja. Anak-anak bukanlah pekerja, mereka datang ke sekolah dengan begitu riangnya untuk menuntut ilmu, tapi apa jadinya jika sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak? Itulah yang terjadi jika sekolah masih menerapkan sistem seperti sebuah kerajaan dengan raja sebagai pemegang tertinggi kekuasaannya.

Anak – Anak di Kerajaan Sekolah

“Kerajaan Sekolah” ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama kepala sekolah. Dengan segenap kekuatan otoriternya, sang raja selalu berada di atas segala kebijakannya. Raja tak pernah salah (pasal 1), karena jika raja salah, selalu kembali ke pasal 1 (bunyi pasal 2). Apa jadinya jika sekolah masih menerapkan sistem layaknya sebuah kerajaan? Anak-anak (siswa-siswinya) akan menjadi seperti prajurit.

Anak-anak dikumpulkan di lapangan, lalu mereka disuruh membersihkan semua area yang ada di wilayah sekolah tersebut, mencuci perabot kantor sekolah, membersihkan ruang guru, ruang raja (kepala sekolah), dan ruang-ruang lainnya. Sementara sang raja hanya memberikan komando tanpa ikut turun tangan menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sang raja menyuruh anak-anak bekerja tanpa memberi contoh.

Sami’na Wa’ato’na Dengar dan Taat

Padahal raja tersebut harusnya menjadi teladan bagi semua warganya. Lantas, kemana para gurunya? Iya, karena mereka juga dibawah kendali sang raja, maka mereka pun sami’na wa’ato’na (dengar dan taat) dengan atasannya tersebut. Mereka pun hanya melihat anak bekerja tanpa berbuat membantu bersama-sama. Alhasil, guru pun bertindak sama seperti layaknya raja. Padahal anak-anak butuh sosok teladan yang mengantarkannya menuju pintu gerbang kesuksesannya. Hal sekecil apapun yang dilakukan oleh gurunya akan ditiru dan dicontoh oleh anak-anak. Karena pada hakikatnya guru adalah teladan bagi anak didiknya.

Tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia dalam rangka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, apa jadinya jika di sekolah anak-anak lebih sering dihujani dengan kata-kata keras. Bahkan, bukan hanya kata-kata, tapi juga hukuman fisik oleh gurunya. Tentu hal ini akan berdampak pada psikologi anak.

Melukai Perasaan Siswa-Siswinya

Sayangnya, terkadang guru tak menyadarinya. Bahwa tindakannya tersebut telah melukai perasaan siswa-siswinya. Hal seperti inilah yang akan terus terjadi jika sekolah masih menerapkan sistem seperti kerajaan, padahal sekolah bukanlah kerajaan.

Jack Canfield (Pakar Masalah Kepercayaan Diri) melaporkan hasil penelitian terhadap 100 anak. Riset tersebut dilakukan dengan cara mencatat berapa banyak jumlah komentar positif dan negatif yang diterima seorang anak dalam sehari.

Hasil penelitian Canfield sangat mengejutkan, yaitu bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung setiap hari. Hasil riset ini diuraikan dalam buku Quantum Learning karya Bobbi de Potter. Apa jadinya jika anak setiap hari menerima komentar negatif enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif?

Sekolah Tempat yang Nyaman

Hasil temuan Canfield adalah di luar negeri. Tapi setidaknya itulah gambaran jika sekolah masih menerapkan sistem seperti kerajaan. Komentar negatif saja bisa berdampak negatif bagi anak, apalagi sampai tindakan negatif berupa hukuman fisik?

Di Indonesia, khususnya daerah-daerah terpencil masih dijumpai guru-guru yang menerapkan sistem seperti itu. Jika ada anak (murid) yang salah, dihukum dengan pukulan rotan, ditampar pipinya, dicubit hidungnya atau dijewer telinganya.

Sungguh miris jika guru-guru di sekolah masih memberlakukan hukuman keras semacam itu. Sekolah bukan menjadi tempat yang nyaman untuk belajar bagi anak, tapi menjari penjara yang mengengkang kreativitas anak-anak. Itulah yang terjadi jika sekolah menerapkan sistem kerajaan. Padahal, sekolah, bukanlah kerajaan. Bukan pula tempat bekerja bagi anak-anak.

Anak-Anak Bukanlah Pekerja

Sekali lagi, anak-anak bukanlah pekerja, tapi mereka adalah pelajar yang sudah seharusnya diperlakukan secara wajar dalam proses belajarnya. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Anak Juga Manusia, mengatakan bahwa “anak bukan barang yang dipesan dari katalog yang disertai buku panduan.

Dia adalah titipan Tuhan yang sudah sepatutnya diperlakukan dengan baik. Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya hati dan perasaan, karena anak juga manusia”. Iya, karena anak juga manusia, punya hati dan perasaan, maka janganlah menjadikan sekolah seperti kerajaan.

Tapi, jadikanlah sekolah sebagai tempat yang paling nyaman, paling berkesan dan paling menyenangkan bagi anak-anak didiknya. Jadikanlah sekolah sebagaimana fungsinya sekolah, tempat menimba ilmu, belajar dan berkarya mengembangkan segala daya potensi anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *